SEJARAH EKONOMI INDONESIA
ORDE LAMA
Pola dan proses dinamika
pembangunan ekonomi di suatu negara ditentukan oleh factor internal maupun
eksternal.
Faktor internal, di antaranya:
1. kondisi fisik (termasuk iklim)
2. letak geografi
3. jumlah dan kualitas SDA dan SDM
4. kondisi awal ekonomi
5. social dan budaya
6. system politik
7. peranan pemerintah
Faktor eksternal, di antaranya:
1. perkembangan teknologi
2. kondisi perekonomian dan politik dunia
3. keamanan global
Yang sangat menentukan
keberhasilan pembangunan ekonomi bukan “warisan” dari negara penjajah,
melainkan orientasi politik, system ekonomi, serta kebijakan-kebijakan yang
diterapkan oleh rezim pemerintahan yang berkuasa setelah lenyapnya
kolonialisasi, terutama pada tahun-tehun pertama setelah merdeka karena
tahun-tahun tersebut merupakan periode yang sangat kritis yang sangat
menentukan pembangunan selanjutnya.
Pengalaman Indonesia sendiri
menunjukkan bahwa pada jaman pemerintahan orde lama, rezim yang berkuasa
menerapkan system ekonomi tertutup dan lebih mengutamakan kekuatan militer
daripada kekuatan ekonomi. Ini semua
menyebabkan ekonomi nasional pada masa itu mengalami stagnasi, pembangunan
praktis tidak ada.
PEMERINTAHAN ORDE LAMA
Setelah merdeka, khususnya pada
tahun-tahun pertama setelah kemerdekaan, keadaan ekonomi Indonesia sangat
buruk, ekonomi nasional boleh dikatakan mengalami stagflasi. Defisit neraca saldo pembayaran dan defisit
keuangan pemerintah sangat besar, kegiatan produksi di sector pertanian dan
industri manufaktur praktis terhenti, tingkat inflasi sangat tinggi hingga
mencapai lebih dari 500 % menjelang akhir periode orde lama. Semua ini disebabkan oleh berbagai factor, di
antaranya:
1. pendudukan Jepang
2. Perang Dunia II
3. perang revolusi
4. manajemen ekonomi yang buruk
5. ketidakstabilan kehidupan po;itik
6. seringnya pergantian kabinet
7. keterbatasan factor produksi
Selama periode 1950-an, struktur
ekonomi Indonesia masih peninggalan jaman kolonialisasi. Pada umumnya kegiatan ekonomi yang masih
dikuasai pengusaha asing tersebut lebih padat kapital dibanding kegiatan-kegiatan ekonomi yang didominasi
pengusaha pribumi.
Struktur
ekonomi seperti itu
disebut Dual Societes oleh Boeke (1954), yang merupakan salah satu
karakteristik utama dari negara-negara sedang berkembang, yang
merupakan warisan kolonianisasi. Dualisme di dalam struktur ekonomi
seperti
ini terjadi karena biasanya pada masa penjajahan pemerintah yang
berkuasa
menerapkan diskriminasi dalam kebijakan-kebijakannya, baik yang bersifat
langsung seperti mengeluarkan peraturan atau undang-undang, maupun yang
tidak
langsung. Diskriminasi ini sengaja
diterapkan untuk membuat perbedaan dalam
kesempatan melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi tertentu antara penduduk
asli
dan orang-orang non pribumi.
Nasionalisasi
perusahaan-perusahaan Belanda (dan asing lainnya) yang dilakukan pada 1957 dan
1958 adalah awal dari periode “ekonomi terpimpin”. System politik dan ekonomi pada masa orde
lama, khususnya setelah “ekonomi terpimpin” dicanangkan, semakin dekat dengan
pemikiran sosialis-komunis. Sebenarnya
pemerintah khususnya dan masyarakat umumnya, memilih pemikiran politik berbau
komunis hanya merupakan refleksi dari perasaan anti kolonialisasi, anti
imperealisasi dan anti kapitalisasi pada masa itu. Di Indonesia pada masa itu prinsip
individualisme, persaingan bebas dan perusahaan swasta/asing sangat ditentang
oleh pemerintah dan masyarakat umumnya prinsip tersebut sering dikaitkan dengan
pemikiran kapitalisme.
Keadaan ini membuat Indonesia
sulit mendapat dana (pinjaman dan Penanaman Modal Asing) dari negara-negara
barat. Sumber utama PMA di Indonesia
berasal dari Belanda.
Akhir Sptember 1965,
ketidakstabilan politik di Indonesia mencapai puncaknya dengan terjadinya
kudeta yang gagal dari PKI, yang selanjutnya juga mengubah system ekonomi
Indonesia dari sosialis ke semikapitalis